Syari’at Islam
dengan aturan dan sangsi-sangsi yang diletakkan, bertujuan untuk
merealisasikan metode yang terpadu, tidak hanya untuk lelaki, tidak
pula untuk perempuan saja, tapi untuk “Manusia”, untuk
“masyarakat muslim”, untuk dan demi moralitas, keelokan budi
pekerti, dan kebaikan secara mutlak dan umum, demi keadilan yang
absolute
dan terpadu.
Banyak persepsi
dalam memahami syari’at Islam; ada yang ekstrim, moderat, bahkan
tidak sama sekali. Mereka yang mengkaji teks-teks keislaman dengan
kedalaman wawasan akan menghasilkan jawaban yang jernih bahwa ajaran
Islam memang fleksibel, dalam arti tidak ada pihak yang diutamakan
dan dimulyakan. Di antara mereka ada pula yang malah menuduh adanya
kesenjangan dan ketidak adilan antara laki-laki dan perempuan dalam
Islam. Akhirnya terjadi skat-skat dan kubu-kubu. Padahal yang ada
adalah hanya variasi dan distribusi tugas dan fungsi serta
spesifikasi dan posisi, sebagai konsekwensi logis dari adanya variasi
dalam bentuka penciptaan dan watak dasar masing-masing.
Dalam hal jihad,
Islam memang tidak mewajibkannya kepada perempuan, tetapi juga tidak
mengharamkannya. Faktor penciptaan dan kondisi fisik serta mental
perempuan dipersiapkan untuk melahirkan laki-laki yang kelak akan
dikenai kewajiban jihad.
Pada sisi lain
Islam-sebagaimana paparan di atas-memposisikan kaum perempuan pada
proporsi yang sama tingkatannya dengan jihad dalam arti perjuangan.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW.
جهادكن
الحج
“Jihadnya kaum
perempuan haji.”(HR.
Bukhari)
Secara umum, Islam
telah membuat konstitusi bagi para pemeluknya yang laki-laki dan
perempuan,
…. (Karena)
bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,
dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(QS.
Al-Nisa : 32)
No comments:
Post a Comment