Monday, February 27, 2012

BAB IV KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM


BAB IV
KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM

  1. Islam dan Pendidikan
Perkembangan peradaban manusia dipengaruhi dengan berbagaimacam perubahan; mulai dari kemanusiaan itu sendiri, agama, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi barometer perkembangan peradaban manusia dari sisi asal kejadian manusia sebagai makhluk yang multi fungsi. Allah menciptakan bumi ini dengan segala fasilitasnya yang disesuaikan fungsinya dengan makhluk yang akan nanti menjadi pemakmurnya. Ungkapan ini tercermin dalam al-Qur’an,
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi…..." (QS. Al-Baqarah : 30)
Hingga Allah berfirman,
. Dan Kami berfirman: "Turunlah kalian! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." (QS. Al-Baqarah : 36)
Berdasarkan ayat-ayat Allah di atas, jelaslah bukti kesuksesan manusia memakmurkan bumi, mulai belum terjadi apa-apa hingga bermunculan hasil yang telah diusahakan oleh manusia. Tidak hanya Adam AS. saja yang melakukan perubahan di bumi. Nampak pada ayat di atas, pernyataan kalian, menunjukan keterlibatan selain Adam, yaitu Hawwa. Perempuan suci yang menjadi pendamping hidup Adam dalam memakmurkan bumi dengan segala aktivitasnya.
Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain..." (Ali Imran: 195}
Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia. Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.
Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik secara khusus untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki.
Allah SWT berfirman:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (an-Nahl: 97}
Selain itu, wanita – sebagaimana biasa dikatakan – juga merupakan separuh dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separuh anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi- sabilillah."
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara' yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Kaum perempuan sebagaimana kaum laki-laki. Apa yang menjadi obsesi kaum lelaki, wanitapun mempunyai hal yang sama. Jika kaum lelaki banyak beraktivitas di luar rumah; mulai menjadi kuli hingga menjadi kepala Negara. Yang menjadi perbedaan adalah mampu dan tidak mampu, berilu dan tidak berilmu. Dalam arti lain, jika sebuah pekerjaan yang lazimnya dilakukan oleh kaum lelaki, menjadi juru dakwah misalnya. Di luar sana kaum lelakilah lah mendominasi provesi tersebut, tetapi jika ada di antara kaum perempuan yang keilmuannya mumpuni, maka da’i seorang perempuan bukanlah suatu hal yang aneh, karena pada intinya adalah keilmuan. Terkait dengan ini, Rasulullah SAW. bersabda:
إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
Jika sutu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancuran) nya.” (HR. Bukhari)

Beginilah tuntunan Islam mengajarkan tatanan dalam aktivitas manusia, dimana Islam pada dasarnya tidak membedakan antara kaum lelaki dengan kaum perempuan pada beberapa sisi.
Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar – yang mempunyai dua ikat pinggang – biasa membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
  1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras – padahal Rasulullah SAW. telah melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
  2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.
Firman Allah:
"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )

"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )

"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
  1. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.
Dengan demikian, Islam tidaklah mengekang kebebasan para pemeluknya, baik kaum laki-laki lebih-lebih perempuan. Karena ditilik dari hukum asalnya, bahwa semua aktivitas manusia adalah suatu keniscayaan dan bagian dari hak setiap manusia. Adapun jika terlihat beberapa dampak atau konsekwensi dari aktivitas tersebut lebih mendominasi kepada keburukan, maka Islam akan memberikan kebijakan hukum agar tidak lebih jauh terjerumus kepada kemudharatan dan dosa.
Di muka telah dipaparkan tentang pendidikan tentang pentingnya sebuah pendidikan Islam bagi setiap kalangan, terutama bagi keum perempuan yang rentan dengan situasi dan kondisi yang kerapkali bertentangan dengan kejiwaannya. Islam dating sejak awal mengutamakan nilai-nilai pembelajaran universal yang tercermin pada wahyu pertama,
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,” (QS. Al-‘Alaq : 1)
Kendati ayat ini tertuju kepada pribadi Muhammad SAW., namun tidak ada isyarat penghususan, terlihat pada pernyataan Allah ﺇﻗﺮﺃ : bacalah, yang oleh M. Quraisy Shihab dipaparkan, bahwa kata ini mulanya bermakna mengumpulkan, selanjutnya ia menjelaskan:
Apabila Anda merangkai huruf atau kata kemudian Anda mengucapkan rangkaian tersebut maka Anda telah menghimpunnya dan membacanya. Dengan demikian, realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus-kamus ditemukan arti dari kata tersebut. Antara lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu, dan sebagainya, yang kesemuanya bermuara pada arti menghimpun.

Lebih lanjut lagi al-Shabuni memaparkan, bahwa ayat di atas adalah wahyu pertama tertuju kepada nabi Muhammad SAW. yang terkandung makna dakwah kepada membaca, menulis, dan ilmu science. Hal ini merupakan bagian dari syi’ar Islam. Dengan demikian nilai-nilai pendidikan dalam Islam telah digaungkan sejak berpijaknya Islam di muka bumi ini.

No comments:

Post a Comment