- Status Perempuan dalam Masyarakat
- Masyarakat Tradisional
Menurut pandangan orang-orang di luar Islam pada masa
silam, wanita dianggap sebagai barang hidup yang begitu rendah dan
tidak berharga. diperancis pada masa silam wanita secara mutlak
dibawah kekuasaan suaminya. Jika suaminya berkehendak, ia dapat
menjadi teman hidup selamanya. Sedangkan jika tidak, ia pun dapat
membunuhnya. Di inggris, pada abad ke-5 sampai ke-11 Masehi, wanita
hanya dipandang sebagai pelengkap keberadaan laki-laki yang hanya
dianggap sebagai penyalur dan pemuas laki-laki.
Agama Kristen hanya sedikit memperbaiki situasi ini
karena ia terlanjur memberi nilai yang sangat agung terhadap
keyakinan keliru yang di nyatakan didalam kitab Injil awal, yaitu
karena pelanggaran hawalah, adam diusir dari taman surga.
Dengan munculnya mitos abadi semacam itu dalam kesadaran
kolektif masyarakat, tidak terlalu mengherankan jika perempuan
ditempatkan secara inferior, baik dalam masalah agama maupun duniawi.
Tokoh logika terkenal, Aristoteles, menyebutkan wanita
sebagai manusia yang belum selesai yang tertahan dalam perkembangan
tingkat bawah. “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita.
Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang serigala,”
Di semenanjung Arab, pada masa jahiliyah, sebelum lahir
agama Islam, nasib perempuan begitu memperhatinkan. wanita dipandang
sebagai hewan dan barang yang dapat di perjual-belikan. Seorang
lelaki boleh memperistri berapa saja perempuan sekehendak hatinya
tanpa batas. Wanita tidak mempunyai hak waris sama sekali. bahkan
jika lelaki mempunyai beberapa istri dapat diwariskan kepada anaknya.
jika seorang wanita melahirkan bayi perempuan maka akan menjadi aib.
Tidak sedikit bayi perempuan yang lahir lalu dikubur hidup-hidup.
Sampai akhirnya Islam datang dan mengakhiri
praktek-praktek ini sekaligus melakukan emansipasi yang pertama dalam
sejarah di dunia.Pembahasan ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
- Masyarakat Modern
Di zaman modern, pandangan terhadap kedudukan wanita
sudah mengalami banyak pergeseran. Tuntutan persamaan hak
(emansipasi) dari waktu ke waktu semakin gencar. Namun, konsep
emansipasi semakin tidak jelas. Emansipasi yang seharusnya
membebaskan wanita dari perbudakan malah menjerumuskannya pada
perbudakan baru.
Pada masyarakat kapitalis, wanita telah menjadi
komoditas yang dapat diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber
tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang,
lihat saja iklan-iklan di media cetak maupun elektronik. Pada
masyarakat yang bebas, wanita di didik untuk tidak melepaskan segala
ikatan normatif kecuali untuk kepentingan industri. Tubuh mereka
dipertontonkan untuk menarik selera konsumen.
Menurut pemikiran modern, memberikan status yang sama
kepada perempuan berarti menarik mereka keluar dari rumah dan berdiri
berhadapan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan tanpa
memperhatikan permasalahan praktis dan moral yang mungkin timbul
sebagai akibatnya. Peradaban barat modern hampir tidak menciptakan
hasil yang baik dalam memuliakan status perempuan.
Peradaban barat bisa saja menggembar-gemborkan laki-laki
dan perempuan sama dalam setiap hal dan memutuskan bahwa semua
pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh laki-laki dapat pula dikerjakan
oleh perempuan. Peradaban ini telah mendorong perempuan keluar dari
rumah dan mencari posisi yang sama dengan laki-laki dalam setiap
bagian kehidupan, (karena itu selogannya, “Jangan
membuat kopi tapi buatlah keputusan”).
Gerakan ini pertama kali muncul di Inggris pada abad
ke-18, yang disebut Magna Charta
(1215).
Disusul gerakan Petition of Right
(1627), dan kemudian menyebar keseluruh Eropa dan Amerika pada tahun
1772.Di Amerika lahir Declaration of Right
(1776), sedangkan di Perancis lahir Declaration
des Droits de’I home at citoyen (1789).
Dan di Indonesia gerakan ini pertama diadakan di yogyakarta pada
bulan desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30
organisasi perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan
perempuan, dan upaya konsolidasi dari berbagai perempuan yang ada.
Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik
jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan melawan belanda telah dimulai
dimana-mana.
Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir
sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur,
gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Diakhir abad
ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata
melawan penjajah. Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi
kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut
Nyak Dhien dan Cut
Meutia, Chistina
Martha Tiahahu bersama Kapitan
Pattimura, Emmy Saelan
mendampingi Monginsidi,
serta Roro Gusik
bersama Surapati. Lalu
ada Wolanda Maramis
dan Nyi Ageng Serang.
Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali
belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari
para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan
status sosial lebih tinggi dibandingkan para “kawula” yang
bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena
beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya
diserobot oleh kompeni. Terusik, karena pemilikannya terganggu. Tak
perlu masuk sekolah belanda untuk membangun gerakan nasional, para
perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya
ditiang gantungan seperti Tiahahu.
No comments:
Post a Comment