Thursday, February 23, 2012

3. Status Perempuan dalam Masyarakat


  1. Status Perempuan dalam Masyarakat
  1. Masyarakat Tradisional
Menurut pandangan orang-orang di luar Islam pada masa silam, wanita dianggap sebagai barang hidup yang begitu rendah dan tidak berharga. diperancis pada masa silam wanita secara mutlak dibawah kekuasaan suaminya. Jika suaminya berkehendak, ia dapat menjadi teman hidup selamanya. Sedangkan jika tidak, ia pun dapat membunuhnya. Di inggris, pada abad ke-5 sampai ke-11 Masehi, wanita hanya dipandang sebagai pelengkap keberadaan laki-laki yang hanya dianggap sebagai penyalur dan pemuas laki-laki.
Agama Kristen hanya sedikit memperbaiki situasi ini karena ia terlanjur memberi nilai yang sangat agung terhadap keyakinan keliru yang di nyatakan didalam kitab Injil awal, yaitu karena pelanggaran hawalah, adam diusir dari taman surga.
Dengan munculnya mitos abadi semacam itu dalam kesadaran kolektif masyarakat, tidak terlalu mengherankan jika perempuan ditempatkan secara inferior, baik dalam masalah agama maupun duniawi.
Tokoh logika terkenal, Aristoteles, menyebutkan wanita sebagai manusia yang belum selesai yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah. “Tidak boleh menjalin persahabatan dengan wanita. Pada kenyataannya, hati wanita adalah sarang serigala,”
Di semenanjung Arab, pada masa jahiliyah, sebelum lahir agama Islam, nasib perempuan begitu memperhatinkan. wanita dipandang sebagai hewan dan barang yang dapat di perjual-belikan. Seorang lelaki boleh memperistri berapa saja perempuan sekehendak hatinya tanpa batas. Wanita tidak mempunyai hak waris sama sekali. bahkan jika lelaki mempunyai beberapa istri dapat diwariskan kepada anaknya. jika seorang wanita melahirkan bayi perempuan maka akan menjadi aib. Tidak sedikit bayi perempuan yang lahir lalu dikubur hidup-hidup.
Sampai akhirnya Islam datang dan mengakhiri praktek-praktek ini sekaligus melakukan emansipasi yang pertama dalam sejarah di dunia.Pembahasan ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
  1. Masyarakat Modern
Di zaman modern, pandangan terhadap kedudukan wanita sudah mengalami banyak pergeseran. Tuntutan persamaan hak (emansipasi) dari waktu ke waktu semakin gencar. Namun, konsep emansipasi semakin tidak jelas. Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari perbudakan malah menjerumuskannya pada perbudakan baru.
Pada masyarakat kapitalis, wanita telah menjadi komoditas yang dapat diperjual-belikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang, lihat saja iklan-iklan di media cetak maupun elektronik. Pada masyarakat yang bebas, wanita di didik untuk tidak melepaskan segala ikatan normatif kecuali untuk kepentingan industri. Tubuh mereka dipertontonkan untuk menarik selera konsumen.
Menurut pemikiran modern, memberikan status yang sama kepada perempuan berarti menarik mereka keluar dari rumah dan berdiri berhadapan dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan tanpa memperhatikan permasalahan praktis dan moral yang mungkin timbul sebagai akibatnya. Peradaban barat modern hampir tidak menciptakan hasil yang baik dalam memuliakan status perempuan.
Peradaban barat bisa saja menggembar-gemborkan laki-laki dan perempuan sama dalam setiap hal dan memutuskan bahwa semua pekerjaan yang dapat dikerjakan oleh laki-laki dapat pula dikerjakan oleh perempuan. Peradaban ini telah mendorong perempuan keluar dari rumah dan mencari posisi yang sama dengan laki-laki dalam setiap bagian kehidupan, (karena itu selogannya, “Jangan membuat kopi tapi buatlah keputusan”).
Gerakan ini pertama kali muncul di Inggris pada abad ke-18, yang disebut Magna Charta (1215). Disusul gerakan Petition of Right (1627), dan kemudian menyebar keseluruh Eropa dan Amerika pada tahun 1772.Di Amerika lahir Declaration of Right (1776), sedangkan di Perancis lahir Declaration des Droits de’I home at citoyen (1789). Dan di Indonesia gerakan ini pertama diadakan di yogyakarta pada bulan desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan upaya konsolidasi dari berbagai perempuan yang ada. Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan melawan belanda telah dimulai dimana-mana.
Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Diakhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Chistina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang.
Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibandingkan para “kawula” yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh kompeni. Terusik, karena pemilikannya terganggu. Tak perlu masuk sekolah belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya ditiang gantungan seperti Tiahahu.

No comments:

Post a Comment