5. Dedikasi
Perempuan dalam Pendidikan Islam
Sebuah keberhasilan
di berbagai bidang sosial kemasyarakatan, lebih-lebih pada bidang
agama dan ruang lingkupnya tidaklah mudah diraih tanpa adanya
perjuangan dan pengorbanan sebagai bentuk pengabdian pada bidang
masing-masing, inilah yang disebut dedikasi. Dari sini muncul keikhlasan seseorang dalam melakukan aktivitas yang
berguna.
Dalam dunia
pendidikan Islam, tidak terlepas dari peran serta pihak-pihak
terkait; mulai dari seorang pendidik, materi, peserta didik, dan
tujuan. Paling tidak, apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an
sebagai metode cultural dan universal dalam pendidikan Islam,
Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS.
Al-Nahl : 125)
Ayat ini dan yang
serupa dengannya, memberikan metode dalam menyampaikan pengajaran dan
pendidikan Islam. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan yang ideal
adalah pendidikan yang merupakan satu sistem (satu kebulatan yang
terdiri atas pelbagai unsur yang saling menopang, mengukuhkan, saling
melengkapi atau menyempurnakan.
Sedang dalam Islam pendidikan biasa disebut dengan tarbiyah,
yang berarti mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan
kejadian dan fungsinya. Seperti halnya seseorang mengajari seorang anak mengaji al-Qur’an
mulai dari mengenal huruf, baris, sampai kepada ayat-ayat panjang.
Dengan demikian,
pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, asuhan)
oleh subjek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan,
kemauan, intuisi, dan lain sebagainya) dan raga objek didik dengan
bahan-bahan materi tertantu pada jangka waktu tertentu dan dengan
metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah
terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran
Islam.
Bertolak dari
paparan di atas, maka pendidikan adalah sebuah aktivitas mulya yang
bersumber dari berbagai zaman. Sebuah bimbingan ke jalan yang lebih
luas dan masa depan yang lebih cerah, membutuhkan subjek-subjek yang
berdedikasi matang dan berkopetensi, baik dia seorang lelaki maupun
perempuan. Nabi Muhammad SAW. adalah seorang lelaki yang menjadi
sentra percontohan seorang pendidik yang sempurna. Beliau membimbing,
mengajari, dan mengarahkan orang-orang sekelilingnya pelajaran yang
dapat mengantarkannya ke gerbang kesuksesan hingga bermunculanlah
generasi-generasi yang mumpuni.
Terkait dengan
pembahasan ini, baik pada masa lalu maupun masa kini, kaum lelaki
mendominasi menjadi seorang pendidik dan da’i. Namun bukan suatu
fenomena yang aneh dan tabu jika hadir seorang perempuan maju ke muka
dengan melontarkan kajian-kajian ilmiyah dan sciencenya.
Perbedaannya hanya pada jenis kelamin yang berkesan bahwa lelaki
lebih kuat dan berfikir luas dari pada lawan jenisnya. Sisi lain,
tidak sedikit seorang pendidik perempuan telah banyak ‘mencetak’
para ahli ilmu pada bidang masing-masing.
Penulis menganalisi
sebuah novel ‘Wanita Berkalung Sorban’. Dari judulnya nampak
sebuah kata yang janggal, yaitu ‘sorban’. Sebuah pakian pelengkap
yang biasa dikenakan oleh kaum lelaki muslim. Kata itulah yang akan
menguak figur seorang perempuan muda yang hidup di suatu pusat
pendidikan Islam yang biasa di sebut pesantren. Layaknya wanita lain,
kesempatannya untuk maju dan berkembang selalu terbatas dengan hukum
yang sudah mentradisi, yaitu laki-laki adalah pemimpin pada berbagai
bidang.
Tidak ada motivasi
khusus baginya untuk berontak dalam arti positif, selain setelah
benar-benar merasa tertindas dengan kesewenang-wenangan yang ekstrim
dari seorang lelaki yang menjadi suaminya. Aksi pembaharuannya cukup
menjadi garam dalam luka, hingga ahirnya ia tampil menjadi sosok
wanita berkalung sorban tanpa menginjak-injak sorban itu.
Ditinjau dari sisi
pendidikan Islam, sosok perempuan di atas mencerminkan seorang
pembaharu dalam bidang pendidikan dalam arti luas. Islam memiliki
retorika pada berbagai bidang, khususnya yang direspresentasikan oleh
bagian kalangan, banyak mengadopsi aliran keras melawan wanita, yang
menganggapnya sebagai makhluk di bawah derajat lelaki. Wanita harus
selalu berada di rumah, tidak di luar, kecuali terpaksa untuk emenuhi
kebutuhan pokok atau semisalnya.
Pada asalnya
retorika al-Qur’an dan sunnah ditujukan kepada laki-laki dan
perempuan secara bersamaan, kecuali jika ada nash lain yang
mengkhususkannya untuk salah satu dari kedua jenis itu. Maka ketika
retorika al-Qur’an berbunyi, “ya
Ayyuha lladzina amanu”
(Wahai orang-orang yang beriman) atau “Ya
ayyuha nnas”
(wahai sekalian manusia) yang diseru dalam hal ini adalah laki-laki
dan perempuan secara bersamaan.
Lihatlah ummu
Salamah ketika mendengar seruan Rasulullah SAW. “Wahai sekalian
manusia,” maka ia segera meninggalkan kesibukannya, yang ketika itu
sedang ditata rambutnya oleh tukang sisirnya. Dikatakan, “Bukankah
beliau menyerukan, Wahai manusia? Ummu Salamah menjawab; “Saya
termasuk manusia.”
Tidak terbayangkan
dalam Islam adanya prejudikasi buruk terhadap perempuan sekaligus
enguntungkan laki-laki, atau mendeskriditkan wanita dan sebalinya.
Karena yang menurunkan syariat bukanlah seorang laki-laki, atau
kelompok laki-laki, sehingga berlaku buruk kepada wanita. Dalam hal
ini adalah Tuhan dari seluruh makhluk laki-laki dan perempuan, Tuhan
yang mempersatukan kedua makhluk ini dalam ikatan pernikahan.
Pelajaran lain dari
retorika agama, yang menunjukan dedikasi peremuan, sebagaimana
hadits,
يا
أمتاه لا اعجب من فهمك أقول زوجة رسول
الله صلى الله عليه وسلم وبنت أبي بكر ولا
اعجب من علمك بالشعر وأيام الناس أقول
ابنة أبي بكر وكان أعلم الناس أو من أعلم
الناس ولكن اعجب من علمك بالطب كيف هو ومن
أين هو قال فضربت على منكبه وقالت أي عرية
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يسقم
عند آخر عمره أو في آخر عمره فكانت تقدم
عليه وفود العرب من كل وجه فتنعت له الأنعات
وكنت أعالجها له فمن ثم
“Berkata
‘Urwah kepada ‘Aisyah RA., “Wahai hamba perempuan, aku tidak
heran dengan pengetahuanmu, karena kamu adalah isteri Rasulullah SAW.
dan puteri Abu Bakar. Aku juga tdak heran dengan pengetahuanmu
tentang syair dan hari-hari manusia, karena kamu adalah puteri Abu
Bakar, manusia yang paling alim. Namun yang aku herankan adalah
pengetahuanmu tentang kedokteran, bagaimana mungkin kamu
mempelajarinya, darimana dan apa?” ‘Aisyah lalu menepuk bahunya
dan berkata, “Wahai ‘Urwah, saat Rasulullah SAW. sakit, selama
itu pula tabib-tabib dari penjuru Arab datang silih berganti. Mereka
memberikan berbagai resep untuk beliau dan akulah yang mengobatkannya
kepada beliau. Dari sanalah (aku mengetahui ilmu kedokteran) ”(HR.
Imam Ahmad)
Telah
terbukti dalam sejarah bahwa di bawah naungan Islam, perempuan mampu
mencapai tingkat keilmuan dan kebudayaan yang tertinggi, serta
memperoleh porsi terbesar dalam pendidikan dan pengajaran pada masa
generasi Islam pertama.
Wanita-wanita
muslimah ada yang menjadi penulis dan penyair kondang, seperti: Ulyah
binti al-Mahdi, ‘Aisyah bin Ahmad bin Qadim, walladah binti
al-halifah al-Mustakfi Billah,
dan didapati seorang penulis dan aktivis perempuan Mesir abad19;
Zainab al-Ghazali, dan lain-lain.
Fenomena “Wanita
Berkalung Sorban” adalah fiksi yang hendak mengingatkan kepada para
kaum lelaki ‘Jahiliyah’ agar lebih jeli dan adil dalam menyikapi
kaum perempuan, kendatipun Islam menjunjung tinggi derajat mereka.
Mengingatkan pula kembali kepada kaum perempuan yang berobsesi
menempati posisi kaum pria dengan tanpa pertimbangan yang matang agar
mereka lebih menyadari sebagai mahkluk Tuhan yang sangat mendapat
perhatian khusus dari Allah Ta’ala.
No comments:
Post a Comment