Thursday, February 23, 2012

C. Potret Perempuan yang tercerakan


  1. Potret Perempuan yang tercerakan
Seorang muslimah adalah perempuan yang paling banyak memiliki keistimewaan. Ia lebih berhak untuk mendapatkan kehidupan yang baik di dunia ini. Seorang perempuan adalah tempat bernaung bagi suami, serta bertanggung jawab atas harta dan anak suaminya. Ia adalah madrasah pertama bagi generasi penerus. Jika ia baik, semua generasi setelahnya pun akan baik. Jika ia rusak, armada generasi pun akan terombang-ambingkan angin.
Allah berfirman:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (An-Nisa’: 34)

Tugas ini umum untuk kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam sejarah banyak sekali ditemukan kaum perempuan yang terkenal cerdas dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan. Seperti, Raden Ayu Lasminingrat. Nyai Ahmad Dahlan.Zainab al-Ghazali. Peranan tokoh perempuan seperti Aisyah Amini, dan Rahmah el-Yunusiyah dengan Diniyah Putrinya dalam pemberdayaan perempuan. Sebagaimana dalam kajian Wajir Jahan Karim, para alumni Diniyah Putri Padang Panjang yang kembali ke tanah air memainkan peranan penting dalam politik dan kebangkitan nasionalisme melayu sepanjang dasawarsa 1930 dan 1940-an.
Peluang bagi kaum perempuan Indonesia untuk semakin merambah ke dalam berbagai bidang, khususnya keulamaan dan keilmuan. Perempuan Muslim Indonesia tidak hanya bisa dan bebas memperoleh pendidikan, tetapi juga untuk tampil di depan publik.Seperti Rafiqah Darto Wahab, misalnya, sebagai qariah dapat tampil di depan publik dengan suaranya yang indah membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. sementara di banyak wilayah muslim lain, perempuan tidak boleh melakukan hal semacam itu, karena suara yang digunakan untuk membaca Al-Qur’an sekalipun masih dipandang sebagai aurat. Juga tidak ada persoalan bagi ulama perempuan Indonesia untuk muncul dilayar televisi, untuk memberikan ceramah agama dan lain-lain.Sedangkan untuk diwilayah muslim lain, Negara-negara Timur Tengah sangat sulit ditemukan.
  Menurut Azra sebenarnya bukan karena kelangkaan ulama perempuan melainkan karena posisi perempuan yang marjinal dalam dunia keulamaan dan keilmuan yang menyebabkan kelangkaan tersebut. Karena menurut beliau (Azra) hanya perempuan yang berada pada lapisan menengah keataslah yang secara sosial terlibat dalam kehidupan sosial-keagamaan, atau dapat disimpulkan hanya wanita-wanita menengah keatas yang dapat terlibat dalam dunia keilmuan. Baca: Azra, Historiogfari Islam Kontemporer, h. 156-157

Di antara parameter standar tentang kebangkitan masyarakat ialah bagaimana posisi perempuan ditengah masyarakat. Jika posisi ini dipatok pada eksistensi wantia sebagai pemuas libido kaum laki-laki dan bukan sebagai manusia, sekutu laki-laki dan pemegang saham di dalam kancah kehidupan ini, maka hal itu sudah cukup menunjukan kemunduran masyarakat tersebut dalam segala sektor dan komunitinya.

Raden Ayu Lasminingrat, adalah tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia. Ada dua bidang yang menjadi perhatiannya, yaitu dunia kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia sangat peduli nasib kaum hawa, khususnya perempuan Sunda. Lasminingrat adalah anak Raden Haji Moehammad Moesa, seorang perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda abad ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843. Lasminingrat kecil harus berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa Belanda. Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di Pendopo Kabupaten Garut. Di tahun itu pula, ia menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk menggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari ayahnya. Adik Lasminingrat, yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang penulis Sunda. Buku-buku Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan. Pada 1875 ia menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin. Setelah karya tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin. Setelah menjadi istri Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII, Lasminingrat menghentikan aktivitas kepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda (Moriyama, 2005: 243). Sejak kecil Lasminingrat bercita-cita memajukan kaum hawa melalui pendidikan. Obsesinya ini terwujud pada 1907. Ketika itu ia mendirikan sekolah Keutamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Di sekolah ini Lasminingrat memakai kurikulum. Tidak disangka, pada 1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.
Nyai Ahmad Dahlan merupakan salah satu dari sekian tokoh wanita yang memperjuangkan keetaraan hak wanita. Beliau tidak hanya aktif dalam dunia pendidikan, keagamaan, sosial, namun juga memiliki peranan yang sangat berarti dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan mempunyai nama kecil Siti Walidah Binti Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hasan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol. Ibunya dikenal dengan nama Nyai Mas. Beliau lahir di Yogyakarta pada tahun 1872 M. beliau di besarkan dalam lingkungan agamis tradisional. Sikap keagamaan pada waktu itu sangat tradisional terutama bagi kaum perempuan. Perempuan pada waktu tu tidak boleh mengenyam pendidikan formal, mereka hanya diperbolehkan belajar agama, Setelah beliau menikah dengan Muhammad Darwis, atau lebih dikenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan, beliau mulai belajar banyak dari suaminya yang merupakan tokoh dan pendiri organisasi Muhammadiyah. beliau juga akrab dengan tokoh-tokoh nasioanl teman-teman suaminya. Di antara mereka adalah, Jenderal Soedirman, Bung Tomo, Bung Karno, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Dari tokoh-tokoh itulah, Nyai Ahmad Dahlan meski hanya memperoleh pendidikan dari lingkungan keluarga, tumbuh menjadi seseorang yang berwawasan luas. Berangkat dari kenyataan yang ada, Nyai Ahmad Dahlan mulai memikirkan untuk memperjuangkan hak-hak wanita, dimulai dengan membuat pengajian untuk kalangan wanita. Kelompok pengajian ini, kemudian diberi nama Sopo Tresno. Sebuah kelompok pengajian wanita yang didirikan pada tahun 1914, kemudian pada tahun, 1917 Sopo Tresno berganti nama, Semula "Fatimah" diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati seluruh tokoh yang hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin dicetuskan nama "Aisyiyah". Semua sepakat.berganti nama menjadi 'Aisyiyah, lembaga khusus perempuan.

Zainab al-Ghazali adalah wanita luar biasa. Dia terlahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada 1917, dan merupakan keturunan dari kalifah kedua Islam, Umar bin Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tokoh asal Mesir ini begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan berdasarkan keyakinannya, sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Oleh karenanya, sejarah mencatat Zainab lebih dikenal sebagai aktivis Islam ketimbang cendekiawan Islam. Saat menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebarangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan. Dia tidak setuju dengan ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan perempuan. Meski demikian, Al-Ghazali tetap menghormati Sharawi dan menyebutnya sebagai seorang wanita yang memiliki komitmen dan keimanan yang baik. Saat usianya 18 tahun (1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Umat Islam berduka. Pada hari Rabu (3/8), dai dan aktivis terkemuka Zainab Al-Ghazali, wafat dalam usia 88 tahun. Dia meninggalkan kenangan tak terlupakan sepanjang aktivitasnya menjalankan dakwah Islam.

Seperti yang dilakukan oleh Siti Saro, salah seorang peserta Rapat Pimpinan Nasiona (RAPIMNAS) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) asal Kalimantan Selatan (Kalsel). Yang masih bersemangat memberikan pengajian di televisi dan radio. Sabili, 21 September 2006,Siti Saro Daiyah dari Sungai Barito, h.65-67

No comments:

Post a Comment