- Potret Perempuan yang tercerakan
Seorang muslimah adalah perempuan yang paling banyak memiliki
keistimewaan. Ia lebih berhak untuk mendapatkan kehidupan yang baik
di dunia ini. Seorang perempuan adalah tempat bernaung bagi suami,
serta bertanggung jawab atas harta dan anak suaminya. Ia adalah
madrasah pertama bagi generasi penerus. Jika ia baik, semua generasi
setelahnya pun akan baik. Jika ia rusak, armada generasi pun akan
terombang-ambingkan angin.
Allah berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah
yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
(An-Nisa’: 34)
Tugas ini umum untuk kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam sejarah
banyak sekali ditemukan kaum perempuan yang terkenal cerdas dalam
ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Seperti, Raden Ayu Lasminingrat.
Nyai Ahmad Dahlan.Zainab al-Ghazali.
Peranan tokoh perempuan seperti Aisyah Amini, dan Rahmah el-Yunusiyah
dengan Diniyah Putrinya dalam pemberdayaan perempuan. Sebagaimana
dalam kajian Wajir Jahan Karim, para alumni Diniyah Putri Padang
Panjang yang kembali ke tanah air memainkan peranan penting dalam
politik dan kebangkitan nasionalisme melayu sepanjang dasawarsa 1930
dan 1940-an.
Peluang bagi kaum perempuan Indonesia untuk semakin merambah ke dalam
berbagai bidang, khususnya keulamaan dan keilmuan. Perempuan Muslim
Indonesia tidak hanya bisa dan bebas memperoleh pendidikan, tetapi
juga untuk tampil di depan publik.Seperti Rafiqah Darto Wahab, misalnya, sebagai qariah dapat
tampil di depan publik dengan suaranya yang indah membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an. sementara di banyak wilayah muslim lain,
perempuan tidak boleh melakukan hal semacam itu, karena suara yang
digunakan untuk membaca Al-Qur’an sekalipun masih dipandang sebagai
aurat. Juga tidak ada persoalan bagi ulama perempuan Indonesia untuk
muncul dilayar televisi, untuk memberikan ceramah agama dan
lain-lain.Sedangkan untuk diwilayah muslim lain, Negara-negara Timur
Tengah sangat sulit ditemukan.
Menurut Azra sebenarnya bukan karena kelangkaan ulama perempuan
melainkan karena posisi perempuan yang marjinal dalam dunia
keulamaan dan keilmuan yang menyebabkan kelangkaan tersebut. Karena
menurut beliau (Azra) hanya perempuan yang berada pada lapisan
menengah keataslah yang secara sosial terlibat dalam kehidupan
sosial-keagamaan, atau dapat disimpulkan hanya wanita-wanita
menengah keatas yang dapat terlibat dalam dunia keilmuan. Baca:
Azra, Historiogfari Islam Kontemporer, h. 156-157
Di antara parameter standar tentang kebangkitan masyarakat ialah
bagaimana posisi perempuan ditengah masyarakat. Jika posisi ini
dipatok pada eksistensi wantia sebagai pemuas libido kaum laki-laki
dan bukan sebagai manusia, sekutu laki-laki dan pemegang saham di
dalam kancah kehidupan ini, maka hal itu sudah cukup menunjukan
kemunduran masyarakat tersebut dalam segala sektor dan komunitinya.
Raden Ayu Lasminingrat,
adalah tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia. Ada dua
bidang yang menjadi perhatiannya, yaitu dunia
kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia
sangat peduli nasib kaum hawa, khususnya perempuan Sunda.
Lasminingrat adalah anak Raden Haji Moehammad Moesa, seorang
perintis kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda
abad ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843. Lasminingrat kecil harus
berpisah dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk
belajar membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa
Belanda. Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson
Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai
perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan
berbahasa Belanda pada masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di
Pendopo Kabupaten Garut. Di tahun itu pula, ia menulis beberapa buku
berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak
akan jatuh jauh dari pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk
menggambarkan bakat menulis Lasminingrat yang menurun dari ayahnya.
Adik Lasminingrat, yaitu Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang
penulis Sunda. Buku-buku Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak
sekolah, baik karangannya sendiri maupun terjemahan. Pada 1875 ia
menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari
Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar
dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911
dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin. Setelah karya
tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid
I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari
tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit
het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa
cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian,
lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan
1912, dalam aksara Jawa dan Latin. Setelah menjadi istri Bupati
Garut RAA Wiratanudatar VIII, Lasminingrat menghentikan aktivitas
kepengarangannya. Ia lalu berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi
kaum perempuan Sunda (Moriyama, 2005: 243). Sejak kecil Lasminingrat
bercita-cita memajukan kaum hawa melalui pendidikan. Obsesinya ini
terwujud pada 1907. Ketika itu ia mendirikan sekolah Keutamaan Istri
di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Di sekolah ini
Lasminingrat memakai kurikulum. Tidak disangka, pada 1911 sekolahnya
berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas
dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan
pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta
nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang
Keutamaan Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan
Cikajang.
Nyai
Ahmad Dahlan merupakan salah satu dari sekian tokoh wanita yang
memperjuangkan keetaraan hak wanita. Beliau tidak hanya aktif dalam
dunia pendidikan, keagamaan, sosial, namun juga memiliki peranan
yang sangat berarti dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Nyai
Ahmad Dahlan mempunyai nama kecil Siti Walidah Binti Kiai Penghulu
Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hasan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali
Ngraden Pengkol. Ibunya dikenal dengan nama Nyai Mas. Beliau lahir
di Yogyakarta pada tahun 1872 M. beliau di besarkan dalam lingkungan
agamis tradisional. Sikap keagamaan pada waktu itu sangat
tradisional terutama bagi kaum perempuan. Perempuan pada waktu tu
tidak boleh mengenyam pendidikan formal, mereka hanya diperbolehkan
belajar agama, Setelah beliau menikah dengan Muhammad Darwis, atau
lebih dikenal dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan, beliau mulai belajar
banyak dari suaminya yang merupakan tokoh dan pendiri organisasi
Muhammadiyah. beliau juga akrab dengan tokoh-tokoh nasioanl
teman-teman suaminya. Di antara mereka adalah, Jenderal Soedirman,
Bung Tomo, Bung Karno, dan Kiai Haji Mas Mansyur. Dari tokoh-tokoh
itulah, Nyai Ahmad Dahlan meski hanya memperoleh pendidikan dari
lingkungan keluarga, tumbuh menjadi seseorang yang berwawasan luas.
Berangkat dari kenyataan yang ada, Nyai Ahmad Dahlan mulai
memikirkan untuk memperjuangkan hak-hak wanita, dimulai dengan
membuat pengajian untuk kalangan wanita. Kelompok pengajian ini,
kemudian diberi nama Sopo Tresno. Sebuah kelompok pengajian wanita
yang didirikan pada tahun 1914, kemudian pada tahun, 1917 Sopo
Tresno berganti nama, Semula "Fatimah"
diusulkan sebagai nama organisasi itu, tetapi tidak disepakati
seluruh tokoh yang hadir. Kemudian oleh almarhum Haji Fakhrudin
dicetuskan nama "Aisyiyah". Semua sepakat.berganti
nama menjadi 'Aisyiyah, lembaga khusus perempuan.
Zainab al-Ghazali adalah
wanita luar biasa. Dia terlahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada
1917, dan merupakan keturunan dari kalifah kedua Islam, Umar bin
Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Tokoh asal
Mesir ini begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan
berdasarkan keyakinannya,
sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Oleh karenanya, sejarah
mencatat Zainab lebih dikenal sebagai aktivis Islam ketimbang
cendekiawan Islam. Saat
menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok
Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun
tak lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena
bersebarangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Dia tidak setuju dengan
ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan perempuan.
Meski demikian, Al-Ghazali
tetap menghormati Sharawi dan menyebutnya sebagai seorang wanita
yang memiliki komitmen dan keimanan yang baik. Saat usianya 18 tahun
(1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim untuk mengorganisasi
kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan
ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam.
Umat Islam berduka. Pada hari
Rabu (3/8), dai dan aktivis terkemuka Zainab Al-Ghazali, wafat dalam
usia 88 tahun. Dia meninggalkan kenangan tak terlupakan sepanjang
aktivitasnya menjalankan dakwah Islam.
No comments:
Post a Comment